Dalam menghadapi era industri 4.0 dan tantngan SDGs Desa dalam mewujudkan desa tanpa kemiskinan dan kelaparan, desa ekonomi tumbuh merata, desa peduli kesehatan, desa peduli lingkungan, desa peduli pendidikan, desa ramah perempuan, desa berjejaring, dan desa tanggap budaya untuk percepatan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan oleh karena itu desa tidak boleh dipandang sebagai entitas tertingal dari kota. Desa harus menjadi pusat transformasi bebasis tekonolgi dan inovasi melalui konsep Smart Village, sebuah konsep yang tidak hanya menekankan pemanfaatan teknologi informasi namun juga membangun kemandirian desa. Smart Village juga merupakan bagian dari implementasi Program Asta Cita yang diusung oleh Presiden Prabowo Subianto.
Smart Village bukan sekedar digitalisasi, tetapi transformasi
Sering kali kita mendengar istilah Smart Village yang terbayang adalah desa dengan internet cepat, aplikasi digital atau Gedung megah dan piranti pendukung dengan spesifikasi tinggi (modern), esensi Smart Village jauh lebih dalam dari pada itu, tetapi transormasi tatakelola desa secara menyeluruh. Smart Village adalah cara baru memandang desa dimana teknologi menjadi alat bantu bukan sebagai tujuan utama. Tujuan utamanya tetaplah membangun kualitas hidup masyarakat desa melalui peningkatan kualitas pelayanan publik, penguatan ekonomi lokal, pelestarian lingkungan, pembangunan sosial budaya dan teknologi tepat guna. Terdapat 6 dimensi penting dalam membangun Smart Village yaitu: (1) Smart Mobility (2) Smart living (3) Smart Environment (4) Smart People (5) Smart Governance (6) Smart Economy.
Konsep Pentahelix, kolaborasi adalah kunci
Untuk menjawab berbagai tantangan tersebut terutamanya desa yang sangat teringgal, tertinggal dan berkembang (Indeks Desa Membangun) diperlukan pendekatan pembangunan desa yang lebih integratif dan partisipatif. Salah satu pendekatan yang relevan adalah model kolaborasi pentahelix, yang melibatkan lima unsur utama pembangunan yaitu: pemerintah, masyarakat, akademisi, pelaku usaha, dan media. Pentahelix menjadi kerangka kolaboratif yang mampu menyinergikan kekuatan aktor-aktor tersebut dalam mendorong inovasi desa, memperkuat tata kelola, serta meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat desa secara menyeluruh. Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan regulator dalam memastikan arah kebijakan dan program pembangunan desa berbasis teknologi berjalan tepat sasaran. Masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan berperan aktif dalam identifikasi kebutuhan dan partisipasi langsung dalam pengelolaan program. Akademisi memberikan kontribusi melalui riset, teknologi tepat guna, dan pendampingan berbasis pengetahuan. Pelaku usaha mendorong terciptanya nilai ekonomi baru melalui investasi dan pengembangan produk unggulan desa. Sementara media berperan dalam menyebarluaskan informasi, membangun opini publik yang positif, serta mendukung transparansi dan akuntabilitas program Smart Village. Dengan mengintegrasikan potensi kelima unsur ini, desa dapat membangun ekosistem inovatif yang tidak hanya mendorong kemajuan infrastruktur digital, tetapi juga memperkuat kearifan lokal, meningkatkan kualitas pelayanan publik, serta membuka peluang ekonomi baru berbasis potensi desa.
Penutup
Smart Village bukan sekedar proyek teknologi, melaikan visi besar tentang masa depan desa yang lebih Sejahtera, adil dan berdaya saing. Kemandirian desa tidak dibangun dalam semalam, tetapi melalui Langkah-langkah konsisten, gotong royong dan kolaboratif. Desa adalah akar dari kekuatan bangsa, jika akar kuat maka pohon akan tumbuh menjulang.
Kemandirian desa adalah sebuah proses Panjang yang harus ditempuh dengan semangat gotong rooyong, kolaborasi dan inovasi. Di era Smart Village, desa bukan hanya menjadi penerima manfaat pembangunan tetapi juga menjadi motor penggerak perubahan.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.